Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2025 menjadi sorotan publik setelah menetapkan larangan bagi sekolah swasta jenjang SD dan SMP untuk memungut biaya pendidikan dari orang tua siswa. Keputusan ini memicu beragam respons, mulai dari dukungan penuh hingga kekhawatiran terkait keberlanjutan operasional sekolah swasta. Lantas, apa alasan MK mengeluarkan putusan ini, bagaimana dampaknya bagi dunia pendidikan, dan apa saja poin penting yang perlu dipahami masyarakat? Artikel ini akan membahasnya secara lengkap.
Latar Belakang Putusan MK
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada 27 Mei 2025 secara nyata memperluas makna frasa “wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya” yang semula hanya berlaku untuk sekolah negeri, agar juga mencakup sekolah swasta. MK menegaskan hal ini sebagai bentuk pelaksanaan Pasal 31 ayat (2) UUD 1945, yang mewajibkan pemerintah membiayai pendidikan dasar bagi seluruh warga negara tanpa diskriminasi berdasarkan penyelenggara pendidikan.
Perkara ini diprakarsai oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) bersama tiga pemohon individu—Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum—yang mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), khususnya terkait frasa “tanpa memungut biaya” dalam Pasal 34 ayat (2). Gugatan diajukan karena frasa tersebut multitafsir dan dinilai menyebabkan ketidakadilan dalam akses terhadap pendidikan dasar.
MK menyetujui permohonan tersebut karena praktik pembedaan biaya antara sekolah negeri dan swasta—padahal banyak siswa terpaksa belajar di swasta akibat keterbatasan daya tampung sekolah negeri—berpotensi melanggar prinsip kesetaraan hak pendidikan. Data menunjukkan pada tahun ajaran 2023/2024, sekolah negeri hanya menampung sekitar 970.145 siswa SD dibandingkan 173.265 siswa di swasta; serta 245.977 siswa SMP negeri versus 104.525 siswa di swasta.
Sebelum putusan ini, Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas tidak secara eksplisit mencantumkan sekolah swasta dalam jaminan pendidikan gratis, sehingga praktik pungutan biaya di swasta masih diperbolehkan. MK menilai hal itu bertentangan dengan konstitusi, sehingga memutuskan agar frasa tersebut dimaknai secara konstitusional mencakup “pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin pendidikan dasar tanpa biaya di sekolah negeri maupun swasta”.
Isi dan Bunyi Putusan MK
Mahkamah Konstitusi dalam Amar Putusan Nomor 3/PUU-XXII/2024, yang dibacakan pada 27 Mei 2025, menyatakan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib menjamin terselenggaranya pendidikan dasar (SD–SMP) tanpa memungut biaya, tidak hanya di sekolah negeri tetapi juga di sekolah swasta. Putusan ini menjelaskan bahwa frasa “tanpa memungut biaya” dalam Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas harus dimaknai inklusif—yakni mencakup kedua penyelenggara pendidikan—agar sesuai dengan amanat Pasal 31 ayat (2) UUD 1945.
Penjelasan Mahkamah juga menyoroti bahwa sekolah/madrasah swasta tidak dilarang sepenuhnya memungut biaya, terutama bila mereka tidak menerima bantuan pemerintah dan mengejar keberlanjutan operasional. Namun demikian, mereka tetap diwajibkan memberikan skema keringanan atau subsidi bagi peserta didik yang tidak mampu atau berada di wilayah tanpa sekolah negeri.
Adapun mengenai cakupan biaya yang dimaksud, MK menyampaikan bahwa biaya pendidikan dasar mencakup segala jenis pungutan—seperti SPP, uang gedung, uang kegiatan, atau iuran lain—yang selama ini dibebankan kepada orang tua siswa di sekolah swasta. Dengan putusan ini, praktik pungutan semacam itu menjadi tidak diperbolehkan kecuali dalam kondisi sekolah mandiri yang memberikan pilihan serta memiliki skema inklusi keuangan bagi seluruh peserta didik.
Tujuan dan Pertimbangan MK
Mahkamah Konstitusi memandang bahwa pendidikan merupakan hak dasar setiap warga negara yang dijamin oleh UUD 1945. Secara filosofis, pendidikan tidak boleh menjadi komoditas yang hanya dapat diakses oleh mereka yang mampu secara ekonomi, melainkan harus menjadi sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Dari sisi yuridis, putusan ini menegaskan prinsip kesetaraan akses pendidikan, di mana seluruh anak Indonesia, baik yang bersekolah di sekolah negeri maupun swasta, harus memperoleh kesempatan belajar yang sama tanpa hambatan biaya. Secara sosiologis, Mahkamah mempertimbangkan kondisi masyarakat yang masih banyak menghadapi kesulitan ekonomi, sehingga kebijakan ini diharapkan dapat meringankan beban orang tua, mengurangi angka putus sekolah, dan memastikan keberlanjutan pendidikan dasar bagi semua anak.
Dampak Putusan bagi Sekolah Swasta
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mewajibkan pendidikan dasar di SD dan SMP swasta untuk diselenggarakan tanpa memungut biaya memberi dampak positif berupa perluasan akses pendidikan gratis, terutama bagi keluarga berpenghasilan rendah. Ini menjadi angin segar bagi banyak individu yang sebelumnya terbebani biaya SPP, uang gedung, dan iuran lainnya.
Namun, tantangan juga mengintai. Banyak sekolah swasta selama ini bergantung pada iuran siswa sebagai sumber pendanaan operasional. Dengan adanya kebijakan gratis tanpa jaminan subsidi jelas dari pemerintah, ada kekhawatiran penurunan kualitas pendidikan, hilangnya program unggulan, dan bahkan potensi kekhawatiran dalam menjaga sistem pengajaran yang selama ini dijaga kualitasnya oleh yayasan penyelenggara pendidikan swasta. Jika tidak diimbangi dengan skema pendanaan yang adil dan berkelanjutan, sekolah bisa kesulitan mempertahankan layanan pendidikan unggul yang telah mereka bangun.
Terkait itu, pemerintah dan DPRD daerah menyatakan pentingnya kebijakan transisi agar sekolah swasta tidak langsung kehilangan sumber penghasilan utama. Di beberapa daerah telah dibicarakan skema subsidi atau hibah spesifik untuk sekolah swasta, seperti dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) afirmasi atau voucher pendidikan, meski mekanismenya masih perlu dirumuskan secara lebih jelas dan mencakup seluruh sekolah non-negeri.
Dampak bagi Orang Tua dan Siswa
Putusan MK yang menjamin pendidikan gratis hingga tingkat dasar berpotensi besar mengurangi beban biaya pendidikan bagi orang tua. Selama ini, banyak keluarga yang harus mengalokasikan sebagian besar pendapatan untuk membayar SPP, buku, seragam, dan biaya ekstrakurikuler, terutama jika anak mereka bersekolah di lembaga swasta. Dengan adanya kebijakan pembebasan biaya, orang tua dapat mengalihkan anggaran tersebut untuk kebutuhan lain seperti nutrisi, kesehatan, atau tabungan pendidikan lanjutan.
Selain itu, kebijakan ini berpotensi meningkatkan minat masyarakat untuk mendaftarkan anak mereka ke sekolah swasta. Selama ini, salah satu alasan rendahnya minat adalah biaya yang relatif lebih tinggi dibanding sekolah negeri. Dengan dihapusnya biaya, akses ke sekolah swasta menjadi lebih terbuka, sehingga persaingan antar sekolah dalam memberikan layanan pendidikan yang berkualitas juga dapat meningkat.
Namun, terdapat risiko yang perlu diantisipasi. Jika pendanaan dari pemerintah tidak memadai atau terlambat, sekolah swasta bisa mengalami penurunan kualitas layanan akibat keterbatasan sumber daya. Hal ini dapat berdampak pada rasio guru-murid, ketersediaan sarana prasarana, serta kualitas program pembelajaran. Oleh karena itu, selain kebijakan pembebasan biaya, diperlukan mekanisme pendanaan yang tepat, transparan, dan berkelanjutan agar kualitas pendidikan tetap terjaga.
Reaksi Pihak Terkait
Pandangan Asosiasi Sekolah Swasta
Ketua Umum Badan Majelis Perguruan Swasta (BMPS), Ki Dr. Saur Panjaitan, menyatakan bahwa meski tujuan dari putusan MK ini bersifat konstitusional, pihaknya menekankan perlunya regulasi turunan yang tegas agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum hingga mengancam keberlangsungan operasional sekolah swasta. Ia menyoroti pentingnya skema subsidi yang adil dan transparan: "Larangan pungutan dapat mengganggu operasional sekolah swasta dan mengancam kualitas layanan pendidikan," ujarnya dalam pernyataan resmi.
Tanggapan Kementerian Pendidikan
Sampai saat ini, belum ada pernyataan resmi yang dipublikasikan secara khusus oleh Kementerian Pendidikan. Namun, dalam publikasi pemerintah, disebutkan bahwa Kemenpro RAM (Pemerintah) sedang mematangkan skema pendanaan baru pasca-putusan MK. Estimasi kebutuhan pembebasan biaya pendidikan dasar mencapai sekitar Rp132 triliun, yang akan diproses melalui realokasi anggaran dan integrasi kebijakan pusat-daerah.
Komentar Pengamat Pendidikan
Pakar pendidikan Darmawan (Wakil Rektor I UNESA) menyambut baik keputusan ini sebagai penegasan amanat konstitusi bahwa pendidikan adalah hak warga negara tanpa membedakan jenis sekolah. Ia menilai bahwa sekolah swasta kini semakin diperkuat perannya sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, tetapi juga menekankan perlunya definisi jelas tentang kriteria sekolah yang berhak mendapat pembiayaan penuh agar kualitasnya tetap terjaga.
Pakar lain, Dr. Dian Rahma Santoso (Universitas Muhammadiyah Sidoarjo), mewanti-wanti bahwa tanpa dukungan anggaran yang memadai, putusan ini malah bisa "menekan sekolah swasta sampai titik kritis", termasuk menurunnya kualitas layanan dan motivasi pendidik. Ia mengusulkan agar pemerintah menetapkan prioritas pendanaan berbasis kebutuhan dan menghindari kebijakan simbolis tanpa implementasi nyata.
Mekanisme Pendanaan Setelah Putusan
Setelah Mahkamah Konstitusi mewajibkan pendidikan dasar (SD–SMP) tanpa pungutan biaya di sekolah negeri maupun swasta, skema pendanaan perlu diadaptasi secara sistematis. Tiga pilar utama pendanaan mencakup optimalisasi APBN/APBD, peran aktif pemerintah daerah, serta peluang kerja sama publik–swasta (PPP) untuk menjaga keberlanjutan layanan dan mutu pendidikan.
1. Skema Pendanaan dari APBN/APBD
Pemerintah mengoptimalkan alokasi minimal 20% fungsi pendidikan dalam APBN dan APBD untuk menutup biaya operasional pendidikan dasar. Implementasi dilakukan melalui penguatan dana operasional (misalnya penambahan porsi bantuan operasional yang menjangkau sekolah swasta berbiaya rendah), realokasi program non-prioritas ke belanja pendidikan, serta penajaman transfer ke daerah agar subsidi sampai ke satuan pendidikan yang membutuhkan.
2. Peran Pemerintah Daerah
Pemerintah daerah bertindak sebagai garda terdepan dalam penyaluran subsidi berbasis kebutuhan. Prioritas tahap awal difokuskan pada sekolah swasta di wilayah dengan keterbatasan akses dan biaya. Pemda menyiapkan mekanisme verifikasi, menetapkan kriteria penerima (misalnya biaya satuan rendah, daya tampung, dan kondisi sosial-ekonomi peserta didik), mengawasi penyaluran, serta melakukan evaluasi berkala untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas.
3. Potensi Kerja Sama Publik–Swasta (PPP)
Skema kerja sama publik–swasta dapat menjadi pelengkap pendanaan agar sekolah swasta tetap inovatif sekaligus inklusif. Bentuknya dapat berupa dukungan infrastruktur, layanan penunjang belajar, atau program beasiswa dengan syarat keterbukaan data dan audit yang ketat. Prinsip utamanya: tidak ada pungutan wajib kepada peserta didik, sementara keberlanjutan operasional sekolah tetap terjaga melalui kemitraan yang transparan.
Mekanisme | Fokus | Implementasi Kunci | Catatan Akuntabilitas |
---|---|---|---|
APBN & APBD | Menutup biaya operasional pendidikan dasar tanpa pungutan | Penajaman alokasi 20% fungsi pendidikan; penguatan bantuan operasional untuk sekolah swasta berbiaya rendah; realokasi program non-prioritas. | Pelaporan standar, audit keuangan, dan publikasi penyerapan anggaran secara periodik. |
Peran Pemda | Subsidi berbasis kebutuhan dan kondisi wilayah | Penetapan kriteria penerima; verifikasi & validasi; pengawasan penyaluran; evaluasi triwulan/semester. | Mekanisme pengaduan publik, audit internal/eksternal, dan transparansi data penerima. |
Kerja Sama Publik–Swasta (PPP) | Menjamin keberlanjutan & inovasi layanan sekolah swasta | Dukungan infrastruktur, program beasiswa, layanan penunjang belajar; kontrak berbasis kinerja. | Keterbukaan kontrak, indikator kinerja utama (KPI), audit independen, tanpa pungutan wajib ke peserta didik. |
Tantangan Implementasi
Meski putusan Mahkamah Konstitusi tentang pendidikan dasar gratis memberikan peluang besar bagi pemerataan akses pendidikan, implementasinya menghadapi sejumlah tantangan serius. Berikut beberapa di antaranya:
No | Tantangan | Penjelasan |
---|---|---|
1 | Keterbatasan Anggaran Pemerintah | Pengalokasian anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN dan APBD seringkali terbagi untuk banyak program. Dengan adanya kewajiban pendidikan gratis, pemerintah harus memastikan dana cukup tanpa mengorbankan sektor lain. |
2 | Pengawasan Pelaksanaan | Penerapan pendidikan gratis memerlukan sistem pengawasan yang transparan agar dana tepat sasaran dan tidak terjadi penyalahgunaan, terutama di daerah terpencil. |
3 | Potensi Celah Aturan | Kurangnya detail teknis dalam aturan pelaksanaan bisa dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk menghindari kewajiban atau mengalihkan biaya ke siswa dengan dalih lain, seperti sumbangan atau pungutan tidak resmi. |
Kesimpulan
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pendidikan dasar gratis merupakan langkah monumental yang berpotensi meningkatkan pemerataan akses pendidikan di Indonesia. Dengan adanya pembebasan biaya bagi siswa di sekolah swasta yang memenuhi syarat, diharapkan tidak ada lagi anak yang terhambat bersekolah karena alasan finansial. Namun, implementasinya memerlukan komitmen pendanaan yang kuat, koordinasi lintas sektor, dan pengawasan yang ketat agar tujuan mulia ini tercapai tanpa mengorbankan kualitas pendidikan.
Kebijakan pendidikan gratis di sekolah negeri dan swasta tertentu ini menjadi momentum penting untuk mendorong terciptanya pendidikan inklusif dan berkualitas. Meski tantangan seperti keterbatasan anggaran, potensi celah aturan, dan pengawasan tetap membayangi, sinergi antara pemerintah pusat, daerah, pihak swasta, dan masyarakat akan menjadi kunci keberhasilan. Bagi orang tua dan siswa, langkah ini membuka peluang lebih besar untuk mengenyam pendidikan tanpa beban biaya. Dengan implementasi yang tepat, kebijakan ini dapat menjadi tonggak sejarah menuju generasi emas 2045 yang cerdas, berkarakter, dan berdaya saing global.
Posting Komentar untuk "Putusan MK 2025: SD–SMP Swasta Dilarang Memungut Biaya, Ini Penjelasannya"