Kemendikdasmen Kaji Putusan MK tentang Pendidikan Gratis: Apa Tantangan Nyata di Lapangan?

Kemendikdasmen Kaji Putusan MK tentang Pendidikan Gratis: Apa Tantangan Nyata di Lapangan?

Pendahuluan

Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan No. 3/PUU-XXII/2024 (27 Mei 2025) memutuskan bahwa pendidikan dasar wajib (SD-SMP/sederajat) harus gratis untuk semua, termasuk di sekolah swasta.

Frasa “tanpa memungut biaya” dalam Pasal 34 ayat (2) UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas tidak lagi terbatas pada sekolah negeri. Amar putusan menyatakan pemerintah pusat dan daerah wajib menjamin wajib belajar 9 tahun tanpa biaya di semua sekolah dasar, baik negeri maupun swasta.

Keputusan ini menjadi tonggak penting dalam penegakan hak konstitusional atas pendidikan. Sesuai Pasal 31 ayat (2) UUD 1945, setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

Untuk informasi lebih mendalam, implikasi putusan MK ini telah dibahas pada artikel Ruang Belajar Channel sebelumnya.

Isi Putusan MK

MK menyatakan Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas yang hanya memerintahkan “tanpa biaya” untuk sekolah negeri bertentangan dengan konstitusi. Oleh karena itu, pasal ini harus ditafsirkan ulang.

Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa biaya, baik di sekolah pemerintah maupun masyarakat.

Dengan kata lain, negara harus membebaskan biaya pendidikan dasar di semua sekolah. Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menekankan bahwa penafsiran ini sesuai dengan Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 yang tidak membedakan jenis sekolah.

Ia mencatat banyak siswa tidak tertampung di sekolah negeri. Pada tahun 2023/2024, sekolah negeri SD hanya menampung ≈970.145 siswa, sedangkan sekolah swasta ≈173.265 siswa. Untuk SMP, negeri menampung 245.977 siswa, swasta 104.525.

Kesenjangan ini memperkuat keputusan MK untuk menjamin akses gratis bagi semua. Namun, MK memberikan pengecualian: sekolah swasta “berkebutuhan khusus” seperti yang menawarkan kurikulum internasional atau agama khusus tetap boleh memungut iuran.

Negara menilai wajar jika orang tua yang memilih sekolah unggulan berbayar menerima layanan lebih. Namun, sekolah tersebut harus menyediakan beasiswa atau keringanan bagi siswa tidak mampu, terutama di daerah kekurangan sekolah negeri.

Prinsip non-diskriminasi dalam pendanaan pendidikan dasar ditegaskan: negara wajib mendanai semua jenjang dasar, sementara sekolah swasta boleh membiayai sebagian operasionalnya jika mampu.

Respons Kemendikdasmen

Kemendikbudristek menyatakan siap mempelajari dan melaksanakan putusan MK dengan mempertimbangkan kemampuan fiskal negara.

Mendikdasmen Abdul Mu’ti menjelaskan bahwa inti putusan MK adalah UU Sisdiknas harus dimaknai bahwa negara wajib membiayai pendidikan dasar, baik di sekolah negeri maupun swasta/madrasah.

Ia menekankan dua hal: pelaksanaan harus sesuai kemampuan fiskal pemerintah, dan sekolah swasta tetap dapat memungut biaya meski ada bantuan pemerintah.

Wakil Mendikdasmen Atip Latipulhayat menyatakan MK hanya menambahkan frasa “baik pemerintah maupun swasta” pada pasal sebelumnya. Ia menyambut putusan ini sebagai penegasan aturan yang sudah ada.

Namun, Atip mendesak revisi UU Sisdiknas agar ketentuan pendanaan lebih jelas. Abdul Mu’ti menegaskan putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga tidak bisa diubah.

Kemdikbudristek sedang berkoordinasi dengan kementerian/lembaga lain dan Presiden untuk merumuskan implementasi. Mereka juga menganalisis amar putusan secara utuh, karena beberapa pemberitaan media tidak sepenuhnya akurat.

Kemendikbudristek akan memberikan arahan teknis setelah kajian selesai, sambil menegaskan bahwa prinsip pendidikan dasar gratis harus diperluas ke semua sekolah.

Tantangan di Lapangan

Implementasi pendidikan dasar gratis menghadapi tantangan serius, terutama aspek pembiayaan. Alokasi anggaran pendidikan APBN minimal 20% hanya terserap sebagian, misalnya Rp33,7 triliun dari target Rp724,2 triliun.

Kebijakan gratis 9 tahun menambah beban APBD. Pengamat pendidikan Bukik Setiawan menyebut kebijakan ini mudah diucapkan dari pusat, tapi sulit dijalankan di daerah karena keterbatasan anggaran, desain kebijakan, dan kemitraan dengan sekolah swasta.

Tanpa pendanaan dan petunjuk teknis yang jelas, putusan ini berisiko hanya menjadi teks hukum tanpa dampak nyata. Masalah distribusi dana BOS dan kesejahteraan guru juga belum tuntas.

Profesor Suparji Ahmad (UIN Sunan Kalijaga) mengingatkan bahwa banyak sekolah negeri masih kekurangan dana BOS dan gaji guru honorer belum terbayar penuh.

Jika pendanaan dialihkan ke pemerintah, masalah dana BOS dan honor guru di sekolah swasta harus diselesaikan lebih dulu. Data terintegrasi untuk mengidentifikasi siswa swasta yang perlu bantuan juga diperlukan.

Suparji menegaskan tidak semua siswa swasta bisa digratiskan, karena sebagian memilih swasta untuk kualitas, bukan keterbatasan. Bantuan sebaiknya diarahkan pada siswa miskin yang terpaksa sekolah swasta akibat keterbatasan kuota negeri.

Jika semua sekolah unggulan digratiskan tanpa seleksi, pengeluaran negara bisa tidak proporsional. Tantangan praktis meliputi ketidaksiapan anggaran, distribusi BOS yang tidak merata, gaji guru swasta, dan pemetaan penerima bantuan.

Analisis Tanggung Jawab

MK menegaskan tanggung jawab utama ada pada negara, baik pemerintah pusat maupun daerah. Komisi X DPR mengapresiasi putusan ini dan berkomitmen mengawal pelaksanaannya.

Ketua Komisi X Hetifah Sjaifudian menyebut tantangan utama adalah pembiayaan sekolah swasta, kapasitas anggaran, serta otonomi dan kualitas sekolah swasta.

Ia mendorong perluasan dana BOS untuk sekolah swasta, termasuk dana afirmatif untuk wilayah tertinggal. Kunci sukses adalah koordinasi kuat antara pusat dan daerah dalam alokasi dan pengawasan dana.

Wakil Mendagri Bima Arya menyatakan putusan MK bersifat final dan harus dilaksanakan, tetapi penyesuaian dilakukan melalui perencanaan fiskal daerah.

Pemerintah daerah harus mengintegrasikan kebijakan ini ke dalam RPJMD, melibatkan Bappeda untuk mewujudkan Standar Pelayanan Minimal (SPM) pendidikan.

Beban pembiayaan kemungkinan ditanggung bersama oleh APBN dan APBD sesuai kemampuan daerah. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyarankan sekolah swasta diikutsertakan dalam PPDB online nasional.

Anggaran pendidikan (20% APBN/APBD) perlu diaudit dan dioptimalkan. Integrasi PPDB memungkinkan siswa kurang mampu di sekolah swasta terdata dan mendapat subsidi.

Semua pihak setuju tanggung jawab pendanaan ada pada negara, tetapi pelaksanaan memerlukan kerja sama lintas sektor untuk mewujudkan pendidikan gratis tanpa mengabaikan kualitas.

Solusi dan Rekomendasi

Untuk implementasi efektif, berbagai solusi telah dikemukakan:

  • Perluasan Dana BOS untuk Swasta. Komisi X DPR mengusulkan kenaikan alokasi BOS untuk sekolah swasta dengan penyaluran tepat waktu dan dana afirmatif untuk daerah tertinggal. Permendikbud terkait BOS harus diperkuat.
  • Integrasi Sistem PPDB. JPPI menyarankan sekolah swasta masuk dalam PPDB online nasional untuk seleksi dan pembiayaan transparan, dengan realokasi anggaran pendidikan 20% APBN/APBD untuk siswa miskin.
  • Revisi Regulasi dan Roadmap. Atip Latipulhayat menekankan perlunya revisi UU Sisdiknas agar pendanaan jelas. Kemdikbudristek dan Pemda perlu menyusun roadmap dengan panduan teknis berdasarkan data riil siswa.
  • Koordinasi Pusat–Daerah. Pemerintah pusat harus memberikan insentif dan bantuan teknis ke daerah. Kemdikbudristek dan Kemendagri perlu berkolaborasi dalam penganggaran dan sosialisasi mekanisme baru.
  • Pendataan dan Fokus Sasaran. Pemetaan siswa kurang mampu di sekolah swasta penting untuk penyaluran bantuan tepat sasaran. Sekolah swasta unggulan “by choice” tidak menjadi prioritas pembebasan biaya penuh.

Peluang Reformasi Pendidikan Nasional

Putusan MK membuka peluang reformasi pendidikan nasional. Pendidikan dasar ditegaskan sebagai hak universal, selaras dengan prinsip konstitusional.

Anggaran pendidikan minimal 20% APBN/APBD dapat difokuskan untuk menutup biaya pendidikan dasar di semua sekolah. Dana BOS bisa direposisi agar merata ke swasta, terutama di daerah tertinggal.

Pemangku kepentingan memandang putusan ini sebagai langkah maju. Koordinator JPPI menyebutnya “kemenangan monumental bagi hak asasi manusia atas pendidikan.”

Reformasi bisa mencakup penguatan kualitas guru melalui insentif atau sertifikasi, inovasi kurikulum inklusif, dan pemberdayaan komunitas sekolah.

Pemerintah dapat mengintegrasikan target pendidikan gratis dalam RPJMN/RPJMD. Dengan perbaikan regulasi dan tata kelola, putusan MK dapat menjadi katalisator penghapusan diskriminasi dalam pendidikan.

Kesimpulan

Putusan MK No. 3/PUU-XXII/2024 mengukuhkan bahwa setiap anak Indonesia berhak mendapat pendidikan dasar gratis, baik di sekolah negeri maupun swasta.

Negara diperintahkan membiayai wajib belajar 9 tahun tanpa biaya. Meski implementasinya menantang, keberanian MK memberi kejelasan tujuan: akses pendidikan setara bagi semua.

Kebijakan ini harus direspons dengan tindakan nyata melalui sinergi pemerintah pusat, daerah, legislatif, dan masyarakat. Pendidikan dasar gratis menjadi hak universal yang menumbuhkan keadilan dan kesejahteraan sosial Indonesia.

Ruang Belajar Channel
Ruang Belajar Channel Education Content Creator

Posting Komentar untuk "Kemendikdasmen Kaji Putusan MK tentang Pendidikan Gratis: Apa Tantangan Nyata di Lapangan?"